■
Dalam suasana duduk duduk santai di teras Aula Ponpes As Salafi Al Fithrah Surabaya, seusai majlis Haul Akbar Ahad Pagi, tahun 2006, ada seorang Habib mengajak bicara Fulan - salah seorang penderek Romo Yai RA.
Semula, Fulan mengira Habib ini hanya mengajak ngobrol sebatas berbasa basi. Tapi setelah disimak dan diikuti, rupanya Habib ini sedang serius mengajak mengobrolkan atau "ngerasani" tentang Romo YAI RA.
"Orang seperti Kyai Asrori ini", kata Habib tersebut, "rasa senangnya terletak di orang lain. Coba saja lihat". "Maksudnya bagaimana, Bib?" Tanya si Fulan. Lantas Habib itu menyahut meneruskan dawuhnya.
"Kyai Asrori itu, akan merasa nikmat, nikmatnya makan misalnya, jika Beliau melihat orang lain makan dan kelihatan sangat menikmati. Itu Kyai Asrori baru ikut merasakan nikmatnya. Beliau seperti merasa seneeeeeng dan bersyukur."
Lanjutnya, "Tapi, bagaimana dengan makannya Yai sendiri? Tak pernah dan tak akan pernah Yai itu bisa makan sampai merasa nikmat. Kenapa? Karena tak sempat. Tidak mungkin bagi orang seperti Kyai Asrori itu untuk sempat enak makan seperti kita kita ini. Tidak mungkin sempat. Percaya, sudah." Kata Habib itu dengan nada meninggi. Ia mulai tampak serius dan berusaha meyakinkan.
Fulan terdiam dan mulai merenung. Fulan mengingat ingat, bagaimana Romo YAI RA di saat harus dahar. Juga, bagaimana Beliau RA pada saat semestinya orang pada umumnya harus tidur untuk istirahat. Di dalam hatinya, ia seperti mengatakan : Benar juga Habib ini.
Habib itu lalu meneruskan, "Coba lihat seperti waktu selesai majlis kayak tadi itu. Makanan begitu banyak. Di sana makanan, di sini makanan. Enak enak. Maasyaa-Allaah. Tapi ana lihat tadi, Kyai Asrorinya cuma berdiri. Pindah ke sana, pindah ke lain lagi, cuma mempersilakan : Fadhdhol Bib ... Fadhdhol Bib ... ! Habibnya pada makan "lèko". Ambil ini ambil itu. Yang lezat lezat. Semua disantap. Tapi saya coba perhatikan betul. Kyai Asrorinya cuma senyum senyum, melihat para habib yang makan itu. Subhaana-Allaah."
"Jadi kapan makannya Kyai Asrori ini? WaAllaaah, ana belum pernah lihat Kyai Asrori makan dengan enak. Belum pernah ana lihat." Habib ini mulai tampak berkeringat karena seriusnya.
■
Fulan jadi teringat akan banyak hal. Romo YAI RA itu, misalnya ketika dalam perjalanan ke luar kota bersama rombongan beberapa orang pengikut/pendereknya, ketika tiba saatnya harus berhenti untuk makan, maka Beliau RA selalu mencari restoran, depot, warung atau tempat makan yang sekira cocok untuk selera para pengikutnya ini.
Setelah pesanan sudah dihidangkan, semua pada khusyu' dengan isi piringnya sendiri. Romo YAI RA pun kelihatan ikut dahar. Tapi, jika diamati dengan seksama, maka akan ketahuan kalau dahar Beliau RA itu cuma sesuap dua suap. "Cimik-cimik" istilahnya. Kelihatannya saja Beliau RA dahar dengan lahapnya, tapi waktunya lebih banyak dihabiskan untuk melayani yang lain.
Yang sering Beliau RA lakukan, misalnya, tiba tiba saja Beliau RA memesan tambahan lauk. Setelah dihidangkan, diambil untuk dicicip sedikit, lantas dikasikan ke yang lain. Pesan menu lauk lagi, dicicip sedikit, lalu dikasikan ke yang lain lagi. Sementara mereka yang dikasi tetap saja menerima dan menikmatinya. Bahkan berebut dengan temannya. Selalu begitu.
Sampai di suatu saat, Beliau RA sempat Dawuh kepada Fulan : "Saya paling seneng melihat orang itu, ketika dalam dua keadaan. Pertama, ketika saya melihat orang sedang makan dengan lahap. Sepertinya dia menikmati benar makannya itu. Itu saya senang. Kedua, kalau saya melihat orang yang sedang tidur lelap sekali. Sampai "ngorok" (mendengkur). Saya membayangkan betapa nikmatnya ia. Kalau sudah begitu, saya itu tidak berani membangunkan. Meskipun ada acara penting. Begitu."
■
Pernah suatu ketika, Fulan ini terpaksa matur untuk bertanya. Karena tidak satu dua kali tapi sering terjadi. Di saat Romo YAI RA dahar bareng-bareng dengan yang lain, tiba tiba Beliau RA berdiri meninggalkan meja, menuju toilet. Dan itu cukup lama.
Semula Fulan beranggapan ini hal yang biasa. Tapi berhubung sering dilakuk
an oleh Romo YAI RA, akhirnya dia memberanikan diri untuk menanyakan, "Ngapunten Yai. Saya perhatikan, Yai seringkali ketika dahar, terus pergi ke toilet. Dan itu tidak sebentar. Jujur, saya lalu ada muncul khawatir. Atau pingin tahu kenapa. Maaf jika saya salah Yai. Atau Yai kurang berkenan."
Syukur Alhamdulillah, ternyata Romo YAI RA menanggapi dengan menjelaskan, "Begini Fulan. Saya itu kalau makan, harusnya cepet cepet selesai. Pokoknya mesti cepat ditelan, dan segera selesai. Begitu. Itu keadaan badan saya yang menuntut seperti itu kalau saya pingin bisa makan agak banyak. Apa sebabnya? Supaya jangan sampai kedahuluan pikiran saya kemasukan urusan."
"Karena kalau sudah kemasukan urusan ; ingat murid, ingat ini, ingat itu, ingat apa saja yang memang jadi tanggung jawab keseharian saya, itu kalau pas makan, pasti jadinya pingin muntah. Pembawaan tubuh saya itu sudah otomatis begitu. Tidur pun begitu. Jadi akhirnya gak bisa tidur."
"Kamu bayangkan sendiri lah. Ibaratnya anakmu punya hutang sama orang. Jumlahnya jutaan. Tiba tiba ketika malam mau tidur, kamu ditelpon orang, kalau besok pagi pagi akan ditagih. Dan harus kamu bayar lunas. Kalau nggak, kamu akan dibawa ke polisi. Apa kamu bisa tidur? Nggak waras kalau kamu masih bisa tidur lelap. Yaa ....? Ibaratnya seperti itu."
"Jadi, makan gak pernah bisa enak. Tidur gak pernah bisa lama. Apalagi pulas. Selalu gelisaaaah. Pikiran ini selalu "umep" (=mendidih). Saya bisa tidur itu biasanya kalau kondisi fisik ini benar benar memang menuntut sendiri untuk harus tidur. Memang badan manusiawi saya yang tidak kuat. Sehingga akhirnya jadi tertidur. "Keseliyer". Itu tidur saya. Yang namanya orang "keseliyer" itu, berapa lama sih?"
■
Di akhir obrolan di Aula yang diceritakan di awal tadi, Habib itu berkata, "Itu memang sudah jadi ciri bagi setiap Ulama Besar yang ditugasi Allah untuk mengemban ummat. Siapa pun. Coba ditelaah kisah kisah dari Ulama Besar dunia yang lainnya. Ini tak lain karena memang mewarisi ciri dari kekasihnya Rasulullah SAW".
"Rasulullah SAW itu sepanjang hidup di masa ke-Nabiannya, dua puluh empat jam tidak pernah putus untuk memikirkan nasib ummatnya. Hingga sampai sampai di saat maut akan menjemputnya, yang muncul di pikirannya malah bertanya : bagaimana nasib ummatku kelak. Persis ! Para Mursyid para Ulama Besar itu yaa persis seperti Rasulullah SAW ini. Begitu pun Kyai Asrori yang sekarang kita ikuti ini. Persis."
Agak setengah gemetaran, Habib itu kemudian menepuk nepuk pundak Fulan, sambil mulutnya mengucapkan doa. Dan, Fulan cuma bisa berucap "Aamiiin Aamiiin AllaaHhumma Aamiiin Yaa Robbal 'Aalamiiin".
■
AllaaHhummanfa'naa BiHhii
Wa Bi BarkatiHhii Wa Bi 'UluumiHhii
Fid-Daaroiin. Aamiiin.
Al Faatihah ... !