Selasa, 06 Maret 2018

Cerita Yai Rori: Sikap teladan Romo Yai Rori dalam menjamu tamu tamunya


*

Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa menghormati tamu merupakan suatu etika yang sangat dianjurkan. Bahkan ia dikaitkan dengan nilai kesempurnaan iman seorang Muslim. Artinya, salah satu indikator mudah untuk mengukur kesempurnaan iman seorang Muslim adalah dari caranya menghormati sang tamu. Dan teknis yang paling mudah dalam menghormati tamu ini adalah dengan memberikan jamuan (makanan serta minuman) untuknya, selain tentu saja juga dengan “njagongi” dan menampakkan raut muka berseri kepadanya.

Adab dan etika yang mulia dalam menghormati tamu ini tentu juga telah diteladankan oleh guru kita Romo KH. Achmad Asrori Al Ishaqi RA. Bagi yang dianugerahi sempat “menangi” bisa menatap dan melihat wajah teduh Beliau RA, tentu masih ingat saat Beliau RA bebrapa kali nunggok.i para murid dan jamaahnya saat talaman seusai majlis dzikir dan haul, hanya untuk memastikan agar pendistribusian talam bisa merata dan agar mereka makan dengan thuma’ninah sampai habis.

Yang paling “mencolok” dari teladan menghormati tamu ini –menurut saya-- adalah saat majlis sowanan. Majlis yang juga disebut maturan ini adalah satusatunya peluang (emas) bagi para jamaah biasa (yang tidak punya akses ke ndalem) untuk berinteraksi langsung –dalam arti bisa berdialog-- dengan Beliau RA. Dalam majlis ini, siapa pun –tak harus murid atau jamaan Alkhidmah-- bisa berkonsultasi dan kemudian menerima serta menyaksikan sendiri betapa arif dan bijaksananya Yai RA dalam memberikan solusi serta tuntunan atas permasalahan yang di-ajukan. Tak heran jika kemudian, hal-hal yang dimaturkan oleh masyarakat sangatlah beragam. Mulai dari yang matur masalah jodoh, masalah hubungan muda-mudi yang tak disetujui oleh orang tuanya, masalah rumah tangga, minta barokah nama untuk anak, minta barokah nama untuk toko, minta didoakan agar lekas sembuh dari suatu penyakit tertentu, dan bahkan pernah ada yang matur bahwa ia sedang kehilangan sepeda motor.

Dari deskripsi naratif di atas, kiranya sudah sangat tepat bila disimpulkan bahwa dalam majlis sowanan tersebut, yang berkepentingan sebenarnya adalah para jamaah, baik yang matur maupun tidak. Sedangkan Yai RA, dalam konteks ini lebih mirip dengan seorang konsultan yang berstatus free of charge alias gratisan. Tapi kembali kepada tema tulisan ini, faktanya Yai RA tetap memberikan jamuan berupa makan talaman kepada semua yang hadir. Sebab Beliau RA memang menganggap mereka semua adalah tamunya, dan oleh karenanya perlu untuk dijamu serta dimuliakan. Kurang enak apa coba?. Sudah bisa matur dan konsultasi gratis, eh setelahnya masih dikasih makan. Maka, nikmat talaman manakah yang masih kita dustakan, sehingga (kini) kita masih menyisakannya serta tak tandas menghabiskannya?.

Itu belum tamu yang memang secara khusus bertamu di ndalem Kedinding. Tentu juga telah banyak testimoni dari mereka --seperti dari para habaib—yang mengisahkan bagaimana Yai RA memuliakan dan menghormati tamutamunya dengan mengambilkan sendiri makanan untuk mereka, misalnya.

Dari beberapa teman, saya juga memperoleh informasi valid bahwa tamutamu VIP/VVIP Haul Akbar Al Fithrah, bingkisan untuk mereka diberikan “di muka” saat memberikan undangan Haul. Sebab saking banyaknya tamu saat Haul Akbar, bila bingkisan tersebut diberikan seusai acara, dikhawatirkan akan ada di anatara mereka yang terlewat belum diberi (penghormatan berupa) bingkisan Haul.

Tentunya masih banyak kisah sekaligus teladan dari Beliau RA terkait dengan menghormati dan menjamu tamu yang menjadi tema pokok dari tulisan ini. Andapun tentu saja bisa menambahkan datadatanya di kolom komentar. Dengan senang hati saya Insya Allah pasti akan membacanya. Tapi agar tak terlalu panjang, saya ingin langsung saja menuju ke poin paling inti dari yang ingin saya sampaikan. Terus terang saya sendiri juga baru terpikirkan akan hal ini dan masih beberapa bulan terakhir ini saja dalam mempraktikkannya.

Setelah 8 tahun lebih kita ditinggalkan secara dhahir oleh Beliau RA, saya sampai pada perenungan bahwa menurut saya –one & another way-- Yai RA masih tetap “menghormati” dan “menjamu” tamutamu yang menziarahinya sebagaimana saat Beliau masih gesang dulu. Ya. Jamuan dari Beliau yang saya maksud di sini adalah air pesarean seperti yang ada di foto ini. Ingatingat lagi sejarah ditemukannya air pesarean tersebut. Padahal di sekitran sini, jika menggali sumur, maka airnya akan asin; tidak tawar, sebab sebagaimana umumnya daerah pesisir lainnya, air sumurnya sedikit-banyak telah terpapar oleh air laut. Sebelum ini, sayapun juga jarang untuk tak menyebutnya: tidak pernah minum air pesarean bahkan seusai ziarah. Tapi kini, setiap kali usai ziarah, kalau air pesarean sedang “ready stock” dan situasinya memungkinkan, saya selalu menyempatkan untuk minum beberapa tegukan darinya. Dan kalau sedang eling, saat memencet tombol tempat air berwarna oranye tersebut, saya juga sambil membayangkan bahwa Yai Ra sendiri lah yang menuangkannya ke dalam gelas plastik warnawarni yang sedang saya pegang. Ahh....

Walhasil, setiap kali usai ziarah ke pesarean Yai RA, upayakan sebisa mungkin untuk bisa minum air pesarean walaupun sekedar seteguk atau dua teguk. Sebab itu adalah jamuan dari Beliau RA untuk kita tamutamunya yang baru selesai menziarahi Beliau. Dan sebagai tamu yang baik, bukankah kita harus balas menghormati penghormatan yang telah diberikan oleh sang tuan rumah dengan tidak mengecewakannya; dengan tidak menampik jamuan yang telah ia hidangkan?. Dalam hal ini, kita jangan sampai kalah dengan anak(anak) pondok yang meskipun belum melakukan ziarah, kapan pun saat haus mereka selalu “menikmati” jamuan dari Yai RA tersebut. Allah Knows best!.

18 Januari · Publik ·
#Buletin Al Fithrah [BAF]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar