■
1997 | dr. H. Syamsul Huda (Alm.) tiba tiba diajak kompromi oleh salah seorang temannya | Pada garis besarnya, temannya memberitahu bahwa ada peluang emas | Yakni membeli sebidang tanah | yang mana posisinya dianggap strategis | dan oleh pemiliknya dijual dengan harga murah || Setelah disurvey | Tanya sana Tanya sini | maka jadi dibelilah tanah tersebut | dengan modal uang dari dr. H. Syamsul Huda atas pinjaman dari orang tuanya | Sedangkan temannya tadi lebih sebagai sumber informasi dan penghubung semua urusan terkait jual-beli ||
Syahdan | hanya berselang kurang dari satu minggu | tanah dimaksud ternyata terjual dengan keuntungan bersih lima puluh juta rupiah | Terhadap keuntungan itu | tanpa repot, dr. H. Syamsul Huda menyetujuii usulan temannya tadi : | keuntungan dibagi dua | Masing masing memperoleh dua puluh lima juta rupiah ||
Bisa kita bayangkan | seorang Syamsul Huda - hanya seorang dokter umum biasa | yang belum pernah menjalankan bisnis tanah | tiba tiba menerima uang dua puluh lima juta tanpa jerih payah | dalam waktu kurang dari seminggu || Sebesar apa nilai uang dua puluh lima juta – waktu itu - ukuran nilai rupiah sebelum krismon 1998 ? | Kita bisa hitung dan bandingkan sendiri ||
Akan tetapi atas keadaan yang menimpanya itu (dan ini yang mungkin tidak umum) | dia merasa : Ini perolehan nikmat berupa keuntungan yang tidak wajar | Dua malam berturut turut dia tak bisa tidur karena dirundung gelisah || Kemudian akhirnya, dia terinspirasi dan memutuskan untuk menghaturkan uang tersebut kepada Gurunya – Romo YAI RA || Lantas pada pagi seusai sholat subuh | dengan mengajak Si Fulan | bergegaslah ia berangkat ke Kedinding Surabaya ||
■
Saat di Hadapan Gurunya RA | dengan terbata bata | berceritalah dr. H. Syamsul Huda tentang apa yang dialaminya secara apa adanya | Dan di akhir ceritanya itu | dengan tangan gemetar karena takut keliru | ia menghaturkan segepok bungkusan kertas Koran | berisi uang tunai dua puluh lima juta rupiah | ke Hadapan Romo YAI RA ||
Sambil tersenyum setengah agak tertawa - seakan menyiratkan maksud bahwa tidak ada sesuatu yang aneh dan berat | Romo YAI RA ternyata dengan “enteng saja” hanya merespon dengan Dawuh : | Oooohh …. Begitu ta? | Yaa sudah | Sekarang saya terima pemberianmu | Terimakasih lho yaa | Ini sekarang berarti sudah jadi uang saya lho | Sudah || Sekarang, kamu sarapan | Setelah itu, nanti silakan istirahat di kamar atas | Nanti, kamu saya panggil || Itu Dawuh Romo YAI RA | Dan, HANYA itu ||
Pada sekitar jam 13.00 siang | seorang santri pondok masuk ke kamar yang ditempati dr. H. Syamsul Huda sambil mengatakan : Ditimbali YAI | Dengan bergegas dr. H. Syamsul Huda dan temannya, Fulan, turun tangga | Dan ternyata | Romo YAI RA sudah siap di dalam mobil | Kemudian Beliau RA Dawuh : | Ambil mobilmu | Ikuti saya yaa … ! || Mobil Romo YAI RA yang melaju disetir oleh sopirnya meluncur menuju ke arah Jalan Raya Darmahusada - Surabaya | Dan ternyata berhenti di depan sebuah toko arloji | Di parkiran, Romo YAI RA turun mobil sembari Dawuh : | Anu, Sul, saya pingin cari arloji ||
Di dalam toko itu, Romo YAI RA tampak cukup bersemangat memilih milih | Bergerak dari almari disply yang satu ke yang lain | Hingga menjatuhkan pilihan ke salah satu item yang dianggap bagus | Beliau RA mencoba memasang ke tangannya | Lalu menyuruh ke dr. H. Syamsul Huda untuk mencoba di tangannya juga | Bagus, yaa? | Simpel tapi elegan, yaa? | Begitu seterusnya | Dan dr. H. Syamsul Huda juga mengiyakan ||
Setelah cukup lama proses memilih milih | Romo YAI RA tiba tiba memberitahu ke dr. H. Syamsul Huda bahwa Beliau RA merasa agak pusing | Karenanya lalu meminta tolong agar dr. H. Syamsul Huda keluar sebentar | untuk mencari apotek di dekat dekat situ | guna membelikan obat untuk pusing | Maka segeralah dr. H. Syamsul Huda keluar dengan mengajak sopirnya Romo YAI RA | Di toko arloji itu, Romo YAI RA ditinggal sementara, hanya bersama Si Fulan ||
Tapi lantas Romo YAI RA bicara ke pelayan di situ | bahwa Beliau RA jadi bermaksud membeli arloji yang ditunjuknya itu | Beliau RA lalu segera memberikan dompetnya ke Fulan | dan menyuruhnya langsung ke kasir untuk membayar || Fulan sempat bicara dalam hati kecil : | Waah …. Romo YAI RA sendiri yang bayar? | Nilainya – waktu itu - tiga puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah ||
Ketika dr. H. Syamsul Huda balik masuk membawa obat | arloji sudah terbayar dan terbungkus rapih dalam tas mungil | Dia setengah kaget, bertanya ke Fulan : | Lho sudah dibayar? Siapa yang membayar tadi? | Fulan tak berani berucap | hanya memberi isyarat menunjuk ke Romo YAI RA | Dan sebelum dr. H. Syamsul Huda berkata kata lagi | keburu sudah kedahuluan Romo YAI RA bergegas mengajak keluar toko ||
Setelah berpindah pindah ke beberapa tempat tujuan lain di Surabaya | Akhirnya Romo YAI RA meyuruh dr. H. Syamsul Huda dan Fulan untuk langsung saja pulang ke Kepanjen Malang || Dan, syahdan | ketika dr. H. Syamsul Huda salim untuk berpamitan | tas mungil berisi arloji yang dibeli tadi | oleh Romo YAI RA diberikan ke dr. H. Syamsul Huda | Dan dengan “enteng saja” Beliau RA Dawuh : | Ini lho, Sul | Kamu saya kasi ! || Biyyaaaakk ….. dr. H. Syamsul Huda diam tercengang || Tapi sambil tersenyum setengah agak tertawa - seakan menyiratkan maksud bahwa tidak ada sesuatu yang aneh | Romo YAI RA mengucapkan : Assalaamualaikum …. ! | Dan mobil yang Beliau RA tumpangi berlalu begitu saja ||
■
Hingga menjelang akhir hayatnya di tahun 2014 | arloji dimaksud masih selalu dipakai oleh dr. H. Syamsul Huda | Bukan sekedar sebagai fungsi jam tangan | Bagi Almarhum, arloji tersebut lebih dimaknai sebagai kenang kenangan | Sebagai hadiah istimewa | Amat berharga bukan karena nilai harganya, melainkan nilai kemuliaan “azimat dari Guru”-nya ||
■
AllaaHhummanfa’naa BiHhimaa
Wa Bi BarkatiHhimaa
Wa Bi ‘UluumiHhimaa
Fid-Daaroiin. Aamiiin. Al Faatihah … !!
#Repost Imam Subakti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar