Senin, 12 Februari 2018

Cerita Yai Rori: Arti Bahagia


Pertengahan 1991. Pagi ba’da Shubuh, mobil yang ditumpangi YAI Rori RA berangkat dari Ndalem Al Fithrah Kedinding Surabaya, meluncur menuju Srengat – Blitar. Pagi itu hari Rabu, jadwal Mubaya’ah untuk Jamaah Blitar. Di dalam mobil hanya 3 orang : YAI Rori RA, seorang sopir dan seorang anak muda penderek, yang belum setahun mengenal Beliau Romo Yai.

Saat meluncur di tol, si penderek ini bicara dalam hatinya sendiri, “Aduuh, perut saya agak perih. Lapar. Semalam memang kelupa, tak sempat makan malam”. Namun kemudian, dalam hitungan waktu kurang dari lima menit, YAI Rori RA tiba-tiba berucap Dawuh :

“Gini ini, yang enak cari sarapan dulu, ya Fulan, yaa …??”

Antara kaget bercampur senang, sambil berusaha berlagak tetap tenang, si penderek merespon : “Yaa Yai, saya nderek”

“Nderek..?! Ya sudah pasti itu. Tapi sejujurnya, kamu setuju gak?” Tanya Beliau RA.

“Yaa Yai, saya sangat setuju” jawab si penderek.

Beliau RA kemudian Dawuh :

“Ya begitu. Orang hidup itu harus jujur diri. Yang konsekuen. Jangan omong ‘ya nderek Yai’ seolah benar-benar pasrah, padahal dalam hatinya sangat berharap… Duuuhh, gayanya saja pasrah … Padahal … Iyaa ?? Jangan begitu.”

“Ya sudah. Kita nanti sarapan di Pandaan saja, di warung langganan biasanya itu” lanjut Beliau Romo Yai RA.

Mendengar dawuh itu, si penderek semakin merasa lapar dan pingin rasanya segera nyampai Pandaan. Dalam hati si penderek, pingin sekali menikmati rasanya sarapan rawon. Saking pinginnya, seolah rasa rawon itu sudah diujung lidahnya.

Beliau kemudian Dawuh, seolah hanya mengajak bercanda :

“Tapi, kalau saya perhatikan, seringkali, menu yang kamu pilih itu sama dengan yang saya pilih. Sekarang begini. Kita bikin perjanjian. Kali ini, kamu gak boleh milih menu yang sama dengan pilihan saya. Bagaimana? Setuju?”

Wahh, Yai ini serius?? Pikir si penderek. Tapi gak masalah. Sebab seringkali di warung langganan itu, Beliau memilih gulai. Memang gulainya itu yang disukai Beliau. Sedangkan sekarang, yang saya pingini rawon. Begitulah yang berkelebat dalam pikiran si penderek.

“Ya Yai. Setuju. Saya tidak akan memilih menu sama, dengan yang akan Yai pilih” tekat si penderek.

Sampailah perjalanan di Pandaan. Dan sesuai janjinya, YAI RA minta Ke sopir agar berhenti untuk sarapan di warung langganan. Warung yang sederhana itu, rupanya baru saja dibuka. Ibu si penjual kelihatan masih merapikan tatanan lauk dan kerupuk.

Melihat YAI Rori RA datang, ibu itu tersenyum, langsung menyambut sambil mempersilakan dan bertanya ke YAI RA :

“Monggo Yai, ngersaaken dahar menopo? (=Silakan Yai, Yai menginginkan makan apa?)”

Jawab Yai tanpa babibu : “Rawon..!”

Wah wah, Yai pilih rawon…!? Lha saya terus milih apa? Pikir si penderek. Antara kaget dan bingung.

“Mas mau sarapan apa?” Tanya si ibu pada penderek.

Mungkin karena bingung, si penderek tidak segera jawab, Yai langsung menegurnya :

“Cepat Fulan ..! Kita ini sedang ditunggu jamaah. Ayo segera, kamu pesan apa?”

Si penderek akhirnya dengan agak ngawur dan terkesan asal jawab, dia nyebut : “Pecel”.

Tak lama kemudian, seporsi nasi rawon dihaturkan ke hadapan YAI RA. Panasnya kuah rawon itu masih mengepulkan asap. Herannya, YAI RA tidak segera mendaharnya. Beliau biarkan saja rawon itu di hadapannya. Tapi, aroma kepulan asap rawon itu ke penciuman penderek, dan tak dipungkiri, benar-benar menggiurkan selera.

“Monggo Yai, dahar duluan. Mumpung masih panas” Matur si penderek memberanikan diri. Tapi di balik itu barangkali dia pingin segera menepis aroma rawon yang merasuki penciumannya itu.

Tapi YAI RA Dawuh : “Gak lah. Kita toleran. Kita nanti mulainya bareng-bareng”.

Beberapa saat tidak lama, keluarlah sepiring nasi pecel dan langsung dihidangkan di depan penderek. Maka mulailah makan bersama.

Dalam menu pecel itu, sayurnya kelihatan masih segar. Bumbu pecelnya juga enak. Lauk yang menyertai bervariasi. Ada abon daging. Juga telor matasapi serta tempe goreng yang tebal tampak baru saja diangkat dari penggorengan.

Setelah dua-tiga kali sendokan, dalam hati penderek yang semula tidak begitu berhasrat terhadap pecel, akhirnya muncul pikiran : “enak juga yaa pecel ini”. Dan dia mulai lahap menikmatinya.

Tapi apa kemudian yang terjadi. YAI RA tiba-tiba menarik piring pecel, dan bersamaan dengan itu, menyodorkan rawonnya ke hadapan penderek, sambil kemudian Dawuh :

“Tukar. Supaya sama-sama merasakan”

Si penderek keheranan gak habis pikir. Yai ini bagaimana. Saya sudah memupus pingin saya pada rawon, dan sudah melupakannya, dan kini baru saja merasa nikmat dengan pecel itu, koq malah ditarik, ditukar dengan rawon yang saya sudah gak pingin lagi. Itulah yang berkecamuk di hati penderek. Tapi YAI RA diam saja. Hingga selesai makan.

Setelah naik mobil, dalam perjalanan YAI RA Dawuh. Lebih-kurang isinya sebagai berikut :

ORANG MENJALANI HIDUP ITU, JANGAN TERPAKU PADA HARAPAN/KEINGINAN/TARGET. JANGAN.

SILAKAN KAMU BERCITA-CITA, TAPI JANGAN TERPAKU. JANGAN KEMUDIAN MENUTUP DIRI – EMOH TERHADAP YANG SELAIN CITA CITAMU ITU.

KENAPA? KALAU KAMU HANYA TERPAKU PADA HARAPANMU, MAKA SELAMANYA KAMU TIDAK AKAN MERASAKAN KEBAHAGIAAN.

SEBAB YANG NAMANYA ORANG BAHAGIA, ITU ADALAH ORANG YANG DLOHIR BATINNYA SELALU SIAP MENERIMA DAN MENGHADAPI KENYATAAN YANG ADA DI DEPAN MATANYA.

BAHAGIA BUKANLAH “TERWUJUDNYA HARAPAN”. BUKAN. ITU TIPUAN NAFSU. ITU SEMU DAN SEMENTARA. COBA KAMU BUKTIKAN, IKUTI KEMAUANMU, GAK LAMA KOQ, KAMU AKAN BOSAN, DAN MERASA SUDAH GAK BAHAGIA LAGI, PADAHAL YANG KAMU MAUI ITU MASIH KEPEGANG TANGANMU.

Wallohua'lam bisawab

Sabtu, 10 Februari 2018

Cerita Yai Rori: Romo Yai Asrori dan Penjual Minyak Wangi

Romo Kyai Ahmad Asrori Al Ishaqi RA Dan Penjual Minyak Wangi

Makkah Al Mukarromah, April 2004. Pagi hari setelah keluar dari Masjid Al Haram, Romo YAI RA mengajak sejumlah pendereknya untuk bersantai, berjalan jalan ke suatu area perbelanjaan tradisional. Waktu itu, tempat tersebut lebih dikenal oleh orang jawa dengan sebutan “Pasar Seng”.

Serombongan yang 6 orang penderek itu, dengan dipimpin oleh Romo YAI RA, keluar-masuk toko. Masuk ke toko kitab sebentar, keluar. Ganti masuk ke toko souvenir. Sebentar, keluar lagi, masuk ke toko arloji. Sampai akhirnya Beliau RA masuk ke toko minyak wangi. Otomatis semua penderek juga ikut masuk ke toko tersebut.

Entah kenapa, atau bisa jadi karena agak kecapekan, Romo YAI RA memilih duduk di salah satu kursi yang memang disediakan untuk pembeli, menghadap etalase, di salah satu sudut bagian dalam toko minyak wangi itu. Persis di depan Romo YAI RA duduk, hanya dipisahkan oleh almari etalase, berdiri seorang laki laki arab yang agak lanjut usia. Laki laki inilah yang kemudian diketahui sebagai pemiliknya.

Sementara para penderek memilih-milih mencari aroma yang dicocoki, Romo YAI RA dan lelaki pemilik itu ternyata dengan cepat kelihatan akrab dan menjalin obrolan dalam bahasa arab. Entah apa yang sedang diobrolkan oleh kedua beliau ini, tapi dari suasana yang awalnya penuh canda tawa, selanjutnya kelihatan berkembang dan berubah menjadi seperti sedang bicara tentang hal yang serius. Makin lama, makin kelihatan sama sama serius.

Lalu, sekitar setengah jam kemudian, Romo YAI RA memutus pembicaraan yang serius itu, dan sepertinya dengan tiba tiba saja, Beliau RA menjauh dan membalikkan tubuhnya, beralih menghadap, melihat-lihat minyak wangi. Tapi di sudut sana tadi sangat kelihatan, wajah lelaki tua pemilik toko itu diam terperangah. Wajahnya tegang, tak bergerak ataupun berkata, dan dari jarak sekitar 4 meter, matanya terus menatap punggung Romo YAI RA.

Mungkin karena tak bisa menahan diri, akhirnya si pemilik ini memanggil dan berbisik menanyai Fulan, salah seorang dari penderek. Karena Fulan yang ditanya itu tak bisa berbahasa arab, maka bergantilah bicara dalam bahasa inggris, meskipun “gratul-gratul”.

Intinya begini. Lelaki ini bertanya sembari jarinya menunjuk ke Romo YAI RA, “Oang yang kau ikuti itu siapa?” Dijawab balik oleh Fulan, “Memang kenapa?”. Lalu lelaki ini bicara dengan nada serius dan setengah gemetaran.

“Saya ngobrol dengan dia hanya sebentar. Tapi, Wa-Allaah, saya sangat yakin, itu bukan orang sembarangan. Wa-Allaah, itu bukan orang sembarangan” Diulang sampai tiga kali.

“Meskipun saya ini pedagang minyak wangi, tapi setidaknya saya dulu pernah mengaji. Saya pernah ber-Guru. Dari situ Guru saya membuat saya mengerti, akan tanda tanda orang yang istimewa dan yang diistimewakan oleh Robbul-‘Izzah Subhaanahu Wata’aalaa. Namun sekian tahun baru kali ini membuktikan. Inilah orang itu. Wa-Allaah, Inilah orang itu”

Belum habis bicara, Fulan mendengar suara Beliau RA setengah berteriak memanggil namanya. Spontan Fulan dengan tergesa memohon ijin lelaki tersebut dan langsung mendekat menghadap Beliau RA. Beliau RA lantas bertanya, “Bicara apa habib itu?”

Maka diceritakanlah secara ringkas omongan yang barusan didengarnya. Syahdan, Romo YAI RA spontan bergegas sembari dawuh ke para penderek, “Ayo … Ayo … Cepat kita berpindah. Cepat. Cepat” Romo YAI RA dengan langkah cepat, keluar meninggalkan toko itu, meski si lelaki pemilik tadi berteriak teriak memanggilnya. Romo YAI RA hanya menoleh sebentar dan kedua tangannya mengisyaratkan sungkem pamit, sambil kaki tetap melangkah dengan cepat. Langsung menuju ke hotel tempat menginap.

Jumat, 09 Februari 2018

Tujuan Thoriqoh

Tujuan dari thoriqoh adalah untuk membersihkan jiwa dan menyucikan hati, serta agar bisa makrifat atau benar-benar mengenal Allah SWT. Untuk bisa mengenal Allah SWT ini perlu didasari atau dimulai dengan: mengenal siapa dirinya sendiri terlebih dahulu. Hal semacam ini –kurang lebih– sesuai dan sama dengan sebuah maqalah atau ungkapan sufistik yang mengatakan: “Man ‘arafa nafsah, faqad ‘arafa Rabbah” (Barangsiapa telah makrifat/mengenal dirinya sendiri, maka (niscaya) ia akan bisa untuk mengenal Rabbnya). Salah satu cara ‘mengenal diri sendiri’ dalam hal ini adalah dengan memosisikan diri serta merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah, hina, serba kekurangan, dan serba kurang sempurna ‘di hadapan’ Allah SWT yang Maha Agung. Seseorang yang dalam perasaan atau dorongan hatinya sudah bisa seperti ini, meskipun mulutnya belum berdzikir menyebut asma Allah SWT, ia sudah mendapatkan perhatian dariNya.

                Namun kebanyakan orang –kita sangat mungkin juga termasuk di dalamnya– cenderung melewatkan proses ‘penguatan internal’ dari dalam semacam itu. Artinya, kita punya kecenderungan untuk lebih fokus pada bacaan dzikir atau wirid yang bisa dibilang bersifat eksternal saja, namun dzikir dan wirid tersebut hanya di mulut/bibir saja dan tanpa disertai atau dilandasi oleh dorongan hati yang makrifat/mengenalNya. Pada akhirnya, dzikir dan wirid semacam itu hanya menjadi olah akal dan ilmu saja, dan tidak sampai pada taraf olah hati. Apa yang didzikirkan di mulut hanya formalitas berupa lipsync saja, dan kemudian dipaksakan agar bisa ‘masuk’ ke dalam hati.

                Hal semacam itu jelas berbeda dengan kondisi sebelumnya, di mana dzikir seseorang merupakah hasil dari olah hatinya. Dzikir tersebut tidak muncul begitu saja dari ‘ruang hampa’ yang ramai di luar namun kosong di dalam. Namun dzikirnya merupakan hasil atau output dari hati yang makrifat terhadap Allah SWT. Dzikir di mulut atau bibirnya merupakan ‘reaksi’ yang dipicu oleh suatu perasaan tertentu dari dalam lubuk hatinya yang telah makrifat terhadap Allah SWT.

                Hati yang makrifat semacam itu pada akhirnya akan berbuah manis serta menghasilkan sifat-sifat mulia, di antaranya adalah sifat sakhawatun nufus, yaitu rasa kasih sayang atau welas asih terhadap orang lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Namun untuk bisa memiliki sifat atau kepribadian welas ini bukanlah perkara yang mudah. Sebab pada umumnya, sikap welas seseorang terhadap sesamanya secara umum masih terdorong oleh dua faktor: 1) suka atau cocok tidaknya dia dengan orang tersebut, dan 2) menguntungkan serta ada timbal baliknya atau tidak?. Intinya, sikap welas kebanyakan orang masih pamrih dan belum mutlak murni karena dorongan rasa ikhlas.

                Oleh karena itu, agar hati kita bisa welas terhadap sesama dan mudah tersentuh serta mudah ingat kepada Allah SWT, setiap kali menjumpai orang, situasi, maupun peristiwa apa pun, Yai Rori RA dalam transkrip pengajian kali ini mengajarkan semacam treatment sebagai latihan untuk kita praktikkan bersama. Latihannya begini. Ketika kita sedang dalam perjalanan dengan mengendarai mobil, bus, ataupun kendaraan umum lainnya, kita jangan terlalu egois dan asyik terhadap kesenangan atau kepuasan kita sendiri yang bersifat pribadi seperti asyik membaca koran, buku, ataupun bermain gadget/smartphone. Namun Beliau RA menganjurkan agar kita bisa peka dan ‘peduli’ dengan lingkungan serta keadaan sekitar yang tentunya akan banyak kita temui di sepanjang perjalanan.

                Mengasah kepekaan dan kepedulian sosial dalam konteks seperti yang Beliau maksudkan tersebut misalnya: ketika dalam perjalanan kita melihat penjual asongan atau pedagang kaki lima yang sudah tua namun masih tetap menjajakan dagangannya, diam-diam dalam hati kita doakan mereka agar dilancarkan rizkinya, laris dagangannya, bisa memenuhii tanggung jawabnya sebagai penopang ekonomi keluarga, dan seterusnya berupa doa yang baik-baik. Ketika kita melihat seorang ibu yang sedang hamil tua, diam-diam kita doakan dia agar persalinannya nanti lancar dan akhirnya dikaruniai anak yang shalih atau shalihah. Ketika melihat masjid, pondok pesantren, atau madrasah yang terlihat cukup menggeliat aktivitasnya, diam-diam kita menyukurinya dalam hati dengan berucap: “Alhamdulillaah.” Sebaliknya, ketika melihat rumah ibadah agama lain yang dipergunakan untuk menyembah selain Allah SWT, diam-diam hati kita bilang: “Laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu yuhyii wa yumiitu wa huwa ‘alaa kulli syay-in qadiir.” Ketika kita melihat atau mendengar kabar tentang pelaku maksiat atau kriminal, diam-diam kita juga mendoakan mereka agar cepat mendapat hidayah dan mereka segera berhenti dari perbuatan zalimnya.

                Dan begitulah seterusnya. Intinya, melihat apa pun, siapa pun, dan peristiwa apa pun, itu semua idealnya bisa kita jadikan alat atau media untuk mengasah kewelasan dan kelembutan hati kita agar bisa saur manuk dan selalu ingat kepadaNya, Dzat yang (pada hakikatnya) menciptakan dan meninginginkan kita semua untuk melihat setiap orang dan peristiwa yang kita jumpai sepanjang perjalanan kita tersebut, bahkan sepanjang (perjalanan) hidup kita di dunia ini. Kalau yang kita lihat tersebut adalah orang ataupun hal-hal yang sudah baik dan benar, ya maka kita syukuri itu semua dan kita doakan agar bisa terus langgeng dan semakin meningkat. Namun kalau orang atau peristiwa yang kita temui adalah sesuatu yang salah dan kurang tepat dari segi/norma apa pun, ya maka (minimal) kita doakan dan mintakan kepada Allah SWT agar kekurang tepatan tersebut bisa segera beres dan cepat membaik, bahkan kalau perlu kita tangisi hal tersebut di hadapan Allah SWT.

Transkrip Pengajian Apa Itu Khushushi Bagian 3

#Repost Buletin Al Fithrah

Cerita Yai Rori: Pada tahun 2003 #2


SUATU HARI DI TAHUN 2003 #2

Dalam perjalanan pulang  |  kembali ke Subaya  di sore itu  |  Romo YAI RA sempat mengajak  berhenti di sebuah depot di Porong  |   Beliau RA memang kayaknya tahu persis  | kalau si khodam ini sudah mulai menggeliat  |  menahan rasa laparnya  ||

Dengan santai, Beliau RA mengajak menikmati makan, es, irisan buah  |  Lantas Beliau RA pesan kopi untuk si khodam  |  Sambil mengobrolkan hal hal ringan  ||

Tapi setelah nampak isi piring si khodam habis, bersih  |  kemudian Romo YAI RA mulai beralih  |  men-Dawuhkan hal yang amat berat dan serius  ||  Lebih-kurang di antaranya sebagai berikut ini  ||

Coba sekarang kamu pikir  ||  Kalau kita "bermain" dengan "hitung hitungan angka", yaa  |   Sekarang, yang namanya GURU itu  |  Jangankan kepentingan pribadinya  |  Jangankan kepentingan keluarganya  |  Sekarang saya "notok" (puncak)-kan sekali  |  UMURNYA GURU  |  Nah, kalau sudah bicara umur, itu tidak lain tentu yaa : setiap tarikan dan hembusan nafas ini  ||

Kalau mau "sombong" sekarang  |  Yaa sudah  |  Seluruh nafas Guru itu DIPERSEMBAHKAN  |  DIBERIKAN  |  untuk dibagi  | dijadikan TEBUSAN bagi seluruh kekurangan  |  lobang lobang  |  kesalahan  |  dari Anak Murid yang ditanggungnya  ||

APA YAA CUKUP ???  |  Haaah ... ???  |  Apa cukup ???  ||  Tentu TIDAK cukup .... !!  |  Lha terus apa lagi yang diberikan untuk menebusnya?  |  Supaya seluruh Anak Murid, seluruh Pengikutnya itu bisa SELAMAT ???  | Apa lagi ???  ||

Kalau sudah mikir begini  ....  |  Apa bisa tidur dengan enak?  |  Apa yaa bisa makan dengan enak?  |  Gila, apa?  |  Yaa ... ?  ||

Yaa sudah tidak ada lagi  |  KECUALI satu  |  Apa itu ?  |  "Gedene Arep Arep"  |  Besarnya HARAPAN  |  Bahwa kelak para Guru, para Aulia, para Shiddiiquun, Wasy-SyuHhadaa, Wash-Shoolihuun  |  Semua para yang mulia yang di atas itu  |  hingga ke Puncak Kemuliaan Makhluq Allah  |   Yakni Kanjeng Nabi Rasulillaah Muhammad SAW  |  itu semoga "Kerso"  |  Berkenan untuk  "MENGULURKAN TANGAN"  |  Membantu  |  mengangkat kita kita ini  ||  Yaa hanya itu !!  |  Hanya itu !!  ||

Naaahh ....  |  Kalau orang itu mikirnya ke sana  |  Maksud saya, ke tanggung jawab yang begitu begitu itu  |  Selagi ia juga jalan pikirannya masih bener  |  Lantas koq ada  |  orang  |  lha koq terus dia itu KEPINGIN  |  DUDUK JADI GURU MURSYID  |  itu kan "GAK WARAS" ... ???  ||

Sesampai di Ndalem AL FITHRAH Surabaya  |  pas speaker Masjid memperdengarkan Adzan Isya'  ||

AllaaHhummanfa'naa BiHhii
Wa Bi BarkatiHhii Wa Bi 'UluumiHhii
Fid Daaroiin. Aamiiin.
Al Faatihah ... !!

Selesai

#Repost Imam Subakti

Cerita Yai Rori: Pada tahun 2003 #1


SUATU HARI DI TAHUN 2003 #1

Pernah suatu ketika  |  suatu pagi di hari Minggu  |  Romo YAI RA memanggil salah seorang khodamnya  ||  Tanpa banyak Dawuh  |  Beliau RA ternyata sudah di dalam mobil begitu saja  |  bahkan di posisi pegang setir  |  Lalu menyuruh si khodam tersebut untuk naik masuk ke mobil  ||

Beliau RA kemudian memanggil salah satu abdi-dalem  |  Kelihatan agak tergesa gesa, Romo YAI RA kemudian Dawuhi ke abdi-dalem itu  : "Tolong sampaikan ke orang orang, saya mohon maaf. Hari ini tidak ada sowanan. Cuma tolong dicatat saja. Siapa yang mau matur dan mau mematurkan soal apa. Nanti serahkan ke Nyai di Ndalem, yaa ... !"  ||

Mobil kemudian meluncur di tangan Beliau RA dengan lincah dan dengan kecepatan agak tinggi  |  Ini tidak biasanya terjadi  ||

Tanpa terasa, dari Surabaya, mobil telah sampai di Pandaan  |  Di suatu tempat, mobil kemudian minggir dan berhenti  |  Ternyata Beliau RA membeli pisang, apel, pir, dan aneka buah lainnya  |  Cukup banyak, hingga 2 tas plastik besar  |  Khodamnya juga gak ngerti buat apa buah sebanyak itu  ||

Syahdan, setelah berjalan tak berapa lama lagi  |  mobil berbelok masuk ke area wisata Kebun Binatang Taman Safari 2 - Jawa Timur  ||  Mungkin oleh karena waktu itu bukan holiday season atau liburan sekolah, sehingga suasana tidak terlalu ramai oleh pengunjung  |  Bahkan cenderung sepi  ||

Ternyata  |  Romo YAI RA kelihatan begitu antusias dan tampak bersemangat  : memberi makan ke binatang binatang itu  |  Wajah Beliau RA tampak berseri-seri  |  Memberi makan, mengelus elus kepala jerapah  |  Ganti berpindah ke binatang lainnya  |  Begitu seterusnya  ||

Tanpa terasa sudah 4 jam lebih Romo YAI RA menikmati suasana itu  |  Lupa makan, lupa minum  |  Buah buahan yang 2 tas itu sampai habis, ludes diberikan ke binatang binatang di situ  ||

Si khodam yang hanya duduk dan diam mengamati saja, sudah mulai merasa capek dan lapar  |  Sementara Romo YAI RA masih tampak bersemangat  ||  Padahal Beliau RA sendiri yang menyetir sejak pagi dari Surabaya dan tanpa ada istirahat  ||

Akhirnya  |  setelah Beliau RA merasa cukup  |  mobil berhenti di satu tempat yang agak sepi  |  Beliau RA sepertinya pingin beristirahat di dalam mobil  ||  Dalam istirahat itu, Romo YAI RA berdiam diri seperti orang sedang melamun  |  Si khodam pun juga tak berani berucap sepatah kata pun  ||

Setelah sekitar lima belas - dua puluh menit  |  tiba tiba Romo YAI RA Dawuh  |  seakan bicara kepada dirinya sendiri  :

"Enak yaa ... merawat dan memelihara binatang itu  |  Ternyata benar yang dulu didawuhkan Kyai Sepuh   |  Dibandingkan dengan memelihara manusia ..... |  Nuntun anak murid .... |   Yaa Allaaaaahh ..."  ||"

Entah kenapa, Romo YAI RA lantas tampak berlinang air matanya   |  Diusapnya sendiri dengan tissue  |  Tapi seperti tak tertahankan, air matanya terus saja berlinang tak habis habis  | Keadaan ini berlangsung cukup lama  ||

Dan di akhir keheningan panjang itu  |  Romo YAI RA kemudian Dawuh  :

"Saya hanya takut  membayangkan  |  membayangkan saja saya sudah takut  |  Bagaimana Rasulullah SAW memikirkan dan menanggung beban  |   memikul tanggung jawabnya atas seluruh ummat pengikutnya  |  seperti kita kita yang gak beres beres ini ..... "  ||

Air mata Romo YAI RA tak kunjung berhenti  |  Sampai tissue di mobil habis  ||  Si khodam hanya berdiam dan terpaku  |  Tak berani bertanya, meskipun juga tak banyak mengerti tentang semuanya itu  ||

AllaaHhummanfa'naa BiHhii
Wa Bi BarkatiHhii Wa Bi 'UluumiHhii
Fid Daaroiin. Aamiiin.
Al Faatihah ... !!

#Repost Imam Subakti