Tujuan dari thoriqoh adalah untuk membersihkan jiwa dan menyucikan hati, serta agar bisa makrifat atau benar-benar mengenal Allah SWT. Untuk bisa mengenal Allah SWT ini perlu didasari atau dimulai dengan: mengenal siapa dirinya sendiri terlebih dahulu. Hal semacam ini –kurang lebih– sesuai dan sama dengan sebuah maqalah atau ungkapan sufistik yang mengatakan: “Man ‘arafa nafsah, faqad ‘arafa Rabbah” (Barangsiapa telah makrifat/mengenal dirinya sendiri, maka (niscaya) ia akan bisa untuk mengenal Rabbnya). Salah satu cara ‘mengenal diri sendiri’ dalam hal ini adalah dengan memosisikan diri serta merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah, hina, serba kekurangan, dan serba kurang sempurna ‘di hadapan’ Allah SWT yang Maha Agung. Seseorang yang dalam perasaan atau dorongan hatinya sudah bisa seperti ini, meskipun mulutnya belum berdzikir menyebut asma Allah SWT, ia sudah mendapatkan perhatian dariNya.
Namun kebanyakan orang –kita sangat mungkin juga termasuk di dalamnya– cenderung melewatkan proses ‘penguatan internal’ dari dalam semacam itu. Artinya, kita punya kecenderungan untuk lebih fokus pada bacaan dzikir atau wirid yang bisa dibilang bersifat eksternal saja, namun dzikir dan wirid tersebut hanya di mulut/bibir saja dan tanpa disertai atau dilandasi oleh dorongan hati yang makrifat/mengenalNya. Pada akhirnya, dzikir dan wirid semacam itu hanya menjadi olah akal dan ilmu saja, dan tidak sampai pada taraf olah hati. Apa yang didzikirkan di mulut hanya formalitas berupa lipsync saja, dan kemudian dipaksakan agar bisa ‘masuk’ ke dalam hati.
Hal semacam itu jelas berbeda dengan kondisi sebelumnya, di mana dzikir seseorang merupakah hasil dari olah hatinya. Dzikir tersebut tidak muncul begitu saja dari ‘ruang hampa’ yang ramai di luar namun kosong di dalam. Namun dzikirnya merupakan hasil atau output dari hati yang makrifat terhadap Allah SWT. Dzikir di mulut atau bibirnya merupakan ‘reaksi’ yang dipicu oleh suatu perasaan tertentu dari dalam lubuk hatinya yang telah makrifat terhadap Allah SWT.
Hati yang makrifat semacam itu pada akhirnya akan berbuah manis serta menghasilkan sifat-sifat mulia, di antaranya adalah sifat sakhawatun nufus, yaitu rasa kasih sayang atau welas asih terhadap orang lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Namun untuk bisa memiliki sifat atau kepribadian welas ini bukanlah perkara yang mudah. Sebab pada umumnya, sikap welas seseorang terhadap sesamanya secara umum masih terdorong oleh dua faktor: 1) suka atau cocok tidaknya dia dengan orang tersebut, dan 2) menguntungkan serta ada timbal baliknya atau tidak?. Intinya, sikap welas kebanyakan orang masih pamrih dan belum mutlak murni karena dorongan rasa ikhlas.
Oleh karena itu, agar hati kita bisa welas terhadap sesama dan mudah tersentuh serta mudah ingat kepada Allah SWT, setiap kali menjumpai orang, situasi, maupun peristiwa apa pun, Yai Rori RA dalam transkrip pengajian kali ini mengajarkan semacam treatment sebagai latihan untuk kita praktikkan bersama. Latihannya begini. Ketika kita sedang dalam perjalanan dengan mengendarai mobil, bus, ataupun kendaraan umum lainnya, kita jangan terlalu egois dan asyik terhadap kesenangan atau kepuasan kita sendiri yang bersifat pribadi seperti asyik membaca koran, buku, ataupun bermain gadget/smartphone. Namun Beliau RA menganjurkan agar kita bisa peka dan ‘peduli’ dengan lingkungan serta keadaan sekitar yang tentunya akan banyak kita temui di sepanjang perjalanan.
Mengasah kepekaan dan kepedulian sosial dalam konteks seperti yang Beliau maksudkan tersebut misalnya: ketika dalam perjalanan kita melihat penjual asongan atau pedagang kaki lima yang sudah tua namun masih tetap menjajakan dagangannya, diam-diam dalam hati kita doakan mereka agar dilancarkan rizkinya, laris dagangannya, bisa memenuhii tanggung jawabnya sebagai penopang ekonomi keluarga, dan seterusnya berupa doa yang baik-baik. Ketika kita melihat seorang ibu yang sedang hamil tua, diam-diam kita doakan dia agar persalinannya nanti lancar dan akhirnya dikaruniai anak yang shalih atau shalihah. Ketika melihat masjid, pondok pesantren, atau madrasah yang terlihat cukup menggeliat aktivitasnya, diam-diam kita menyukurinya dalam hati dengan berucap: “Alhamdulillaah.” Sebaliknya, ketika melihat rumah ibadah agama lain yang dipergunakan untuk menyembah selain Allah SWT, diam-diam hati kita bilang: “Laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu yuhyii wa yumiitu wa huwa ‘alaa kulli syay-in qadiir.” Ketika kita melihat atau mendengar kabar tentang pelaku maksiat atau kriminal, diam-diam kita juga mendoakan mereka agar cepat mendapat hidayah dan mereka segera berhenti dari perbuatan zalimnya.
Dan begitulah seterusnya. Intinya, melihat apa pun, siapa pun, dan peristiwa apa pun, itu semua idealnya bisa kita jadikan alat atau media untuk mengasah kewelasan dan kelembutan hati kita agar bisa saur manuk dan selalu ingat kepadaNya, Dzat yang (pada hakikatnya) menciptakan dan meninginginkan kita semua untuk melihat setiap orang dan peristiwa yang kita jumpai sepanjang perjalanan kita tersebut, bahkan sepanjang (perjalanan) hidup kita di dunia ini. Kalau yang kita lihat tersebut adalah orang ataupun hal-hal yang sudah baik dan benar, ya maka kita syukuri itu semua dan kita doakan agar bisa terus langgeng dan semakin meningkat. Namun kalau orang atau peristiwa yang kita temui adalah sesuatu yang salah dan kurang tepat dari segi/norma apa pun, ya maka (minimal) kita doakan dan mintakan kepada Allah SWT agar kekurang tepatan tersebut bisa segera beres dan cepat membaik, bahkan kalau perlu kita tangisi hal tersebut di hadapan Allah SWT.
Transkrip Pengajian Apa Itu Khushushi Bagian 3
#Repost Buletin Al Fithrah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar